Kamis, 14 Januari 2010

Twitter Perdana Menteri Jepang

Ternyata para pejabat pemerintahan Jepang tak mau ketinggalan juga tentang teknologi. Salah satunya PM Jepang, Hatoyama Yukio yang telah membuat blog dan Twitter pribadi,coba lihat aja di http://twitter.com/hatoyamayukio. Dan juga blognya http://hatocafe.kantei.go.jp/
Dalam postingannya,PM Jepang menjelaskan tentang apa yang terjadi dalam pemerintahannya,pokonya kunjungi aja deh twitter dan blog PM jepang dari pada internetan ga' jelas ^^

Berhati - Hatilah Chikan (Hidung Belang Peraba Wanita)

Penduduk Jepang yang terkenal dengan kepintarannya dan semangatnya yang tinggi,ternyata banyak juga penduduknya yang genit dan suka colek-colek wanita. Oleh karena itu telah dimulai skema untuk memerangi para pria hidung belang yang suka meraba wanita dengan memasang kamera dalam gerbong kereta.

Perusahaan East Japan Railway Co (JR East) berupaya untuk menindak siapapun yang masih berani meraba-raba bokong para gadis yang berada di gerbong kereta.

Beberapa gerbong kereta akan dipasang dua kamera keamanan dengan rencana untuk memperluas sistem ini ke seluruh jaringan kereta Tokyo setelah mengkajinya beberapa bulan.

Kamera akan terus-menerus merekam keadaan dalam gerbong kereta, mengawasi dengan cermat setiap tindakan asusila yang terjadi. Ketika ditanya mengenai pendapatnya, sebagian besar penumpang (terutama wanita tentu saja) menyatakan bahwa mereka mendukung penuh adanya pemasangan kamera keamanan ini.

Sebagian kecil penumpang meragukan efektivitasnya. Kita lihat saja apakah para maniak bisa tambah kreatif?

Semangat Kerja Orang Jepang

Anda pernah melihat sekelompok semut atau tawon? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada “semut” atau “tawon” yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Semua mengerti tugas dan kewajiban masing-masing, sebagaimana semut atau tawon. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam “semut-semut” yang sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus J.

Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama – tanpa sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat.

Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama seriusnya, melayani dengan cepat, tanggap dan ramah. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Berdasarkan penelitian rekan dari Yuli Setyo mengatakan bahwa gaji mereka – para “semut” tersebut – tidak bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya harus mendatangi kantor walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah ada tanggungan anak dan anak anda tinggal bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dan sebagainya. Dan dalam banyak hal, pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari “RT, RW, Kelurahan” dan sebagainya. Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran.

Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat sekaligus sangat efisien. Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang agak kurang lancar berbahasa Jepang, saya mendapatkan “fasilitas” diantar kesana-kemari pada saat mengurus berbagai dokumen.

Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari saya membaca prinsip “the biggest (service) for the small” yang kurang lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang beruntung.

Pameo “kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah” tidak saya jumpai di Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho), waktu itu saya hendak mengurus asuransi kesehatan baru karena saya berpindah tempat tinggal di Ashiya yang semula di Kobe. Saya sudah mengganti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan KTP baru yang berdomisili di Ashiya. Dan itu tidak perlu mengganti KTP yang benar-benar baru, cukup dengan menuliskan alamat tempat tinggal baru di balik KTP tersebut, sungguh gampang dan tentunya tidak perlu membayar seperti di tanah air tercinta.

Kembali ke urusan asuransi kesehatan, waktu itu saya diminta untuk menyerahkan beberapa berkas untuk pengurusan asuransi kesehatan, kemudian saya mengatakan bahwa saya sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama sewaktu di Kobe. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya pindah ke kota Ashiya ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan dokumen tersebut sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.

Sebuah paradigma bekerja di Jepang “Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja”. Saya membuktikan pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda pancal melintasi kantor walikota (shiyakusho). Sangat mudah diamati karena kantor walikota tersebut terletak persis di seberang jalan dimana saya biasa bersepeda melewati jalan itu. Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja – versi Jepang.